Fenomena Miris dan Ironis Pendidikan di Indonesia: Saatnya Kita Membuka Mata

Pendidikan adalah fondasi kemajuan sebuah bangsa. Namun, realita di lapangan menunjukkan bahwa dunia pendidikan di Indonesia masih menghadapi berbagai fenomena yang miris dan ironis. Di balik jargon-jargon seperti “Merdeka Belajar” dan “Transformasi Pendidikan”, terdapat potret suram yang patut menjadi perhatian semua pihak.
1. Anggaran Pendidikan Besar, Tapi Masih Banyak Sekolah Rusak

Pemerintah telah mengalokasikan 20% APBN untuk sektor pendidikan, namun ribuan sekolah di daerah pelosok masih dalam kondisi memprihatinkan. Atap bocor, ruang kelas tak layak, dan minimnya fasilitas belajar menjadi pemandangan yang biasa.
2. Giat Belajar, Tapi Skor Literasi dan Numerasi Tertinggal

Indonesia rutin mengikuti survei internasional seperti PISA. Sayangnya, skor literasi dan numerasi siswa Indonesia masih tergolong rendah dibanding negara-negara lain di Asia Tenggara.
3. Sekolah Ramai, Tapi Ijazah Lebih Penting dari Ilmu

Sistem pendidikan lebih menilai angka daripada kemampuan berpikir kritis. Banyak siswa dan orang tua mengejar nilai dan ijazah semata, bukan proses dan ilmu yang seharusnya menjadi tujuan utama.
4. Guru Adalah Pahlawan, Tapi Masih Banyak yang Terlupakan

Guru dituntut inovatif dan berdedikasi, namun masih banyak guru honorer yang bertahan dengan gaji rendah dan tanpa jaminan kesejahteraan. Mereka adalah ujung tombak pendidikan, tapi seringkali tidak diprioritaskan.
5. Digitalisasi Didorong, Tapi Sinyal Masih Sulit Dijangkau

Digitalisasi pembelajaran kerap tidak seimbang. Siswa di kota bisa belajar lewat aplikasi modern, sementara anak-anak di pelosok masih harus naik bukit hanya untuk mendapatkan sinyal.
6. Kurikulum Merdeka, Tapi Guru Masih Terbelenggu Aturan

Kurikulum Merdeka membawa harapan baru, tetapi implementasinya di lapangan sering terkendala karena guru kurang pelatihan dan masih dibebani banyak tugas administratif.
7. Ujian Nasional Dihapus, Tapi Tekanan Belajar Tetap Tinggi

Meski UN telah dihapus, tekanan akademik belum juga hilang. Siswa masih dibebani target nilai tinggi dan seleksi sekolah unggulan, menyebabkan stres mental yang tak terlihat.
8. Belajar Nilai Moral, Tapi Disuguhi Contoh yang Bertolak Belakang

Di sekolah siswa diajarkan nilai kejujuran dan etika. Namun di dunia nyata, mereka menyaksikan ironi: korupsi, manipulasi, dan ketidakadilan yang dilakukan oleh tokoh publik justru seolah dibenarkan.
Kesimpulan
Pendidikan di Indonesia masih menghadapi tantangan besar. Kita tidak boleh menutup mata. Butuh kolaborasi nyata dari semua elemen bangsa agar dunia pendidikan benar-benar menjadi tempat lahirnya generasi unggul, bukan sekadar pencetak ijazah.
Tags: pendidikan Indonesia, sekolah rusak, guru honorer, kurikulum merdeka, digitalisasi pendidikan, nilai moral
Ditulis Oleh : Admin | My Haka Blog

0 Response to "Fenomena Miris dan Ironis Pendidikan di Indonesia: Saatnya Kita Membuka Mata"
Post a Comment